Halaman Depan

Kamis, 08 November 2012

UTS: Ujian Tetap Selow (hari dua)


Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ini adalah sambungan dari cerita tentang UTS hari pertama. Belum baca? Yah, makanya apdet FaisalFound dumzz...:D

Ujian hari 2 : 30 Oktober 2012. Gedung BII/1 FISIP USU. 08.00-10.00 WIB
Mata kuliah: Sosiologi – Pengantar Ilmu Politik

Hah, ini saya tunggu tunggu. Pengantar Ilmu Politik. Entah kenapa saya yakin kali dengan mata kuliah yang satu ini. Kayaknya saya salah jurusan di FISIP. Harusnya masuk Ilmu Pelet Politik bukan Ilmu Komunikasi. Hahaha -__-

Ujian dimulai dengan mata kuliah sosiologi pada pukul 12.15. saya dan RiovaldoKribo , RandyYusran #YogiTamil udah standby ya kan di kelas. Modal binder aja dibolak-balik sama slide dari bang Fuad, itulah modal saya menghadapi ujian. Buku pegangan? Harusnya ada Pengantar Ilmu Politik karangan Meriam Budiardjo, tapi apa daya, Ha na peng (gadak duit), jadi tak tebelik buku itu. Hahaha.

Lima (lima) soal sosiologi saya lahap dengan habis, tanpa ada tersisa. Pertanyaan terakhir yang membuat saya sangat tergelitik.

Pertanyaaannya adalah:

Medan dikenal sebagai kota multikultural di Indonesia. Tidak pernah terdengar konflik sosial yang berbau SARA terjadi di Medan. Menurut Anda, apa yang meyebabkan keadaan Medan seperti itu?

Untuk menjawab pertanyaan ini saya harus menggunakan 1,5 halaman double folio yang disediakan oleh pengawas ujian.

Ada 4 poin utama yang saya paparkan.

Poin 1: suku mayoritas tidak menindas suku minoritas (pendatang) dan tidak pula merasa tertindas dengan suku minoritas. Contoh:
Suku mayoritas Medan: Batak, Karo, Melayu. Udah jelas. Gak usah bedebat. Pecah pala kau nanti.

Suku minoritas: aceh, minang, tionghoa, jawa, dan lain lain.

Penjual sarapan: mayoritas orang jawa.

Penjual makan siang: bukan mayoritas lagi, 100% orang minang.

Penjual makan makanan malam: orang aceh. Itu udah jelas lah. Bu gureng saboh bang *eh keterusan* wkwkwk :D

Nah dari contoh gak jelas diatas, maka kita dapat simpulkan:

Suku mayoritas tidak menindas dan tidak merasa tertindas suku minoritas.
*akhir poin satu*

Poin kedua:
Masih mudahnya mencari lapangan pekerjaan di kota Medan. Walaupun tidak bisa syaya katakan ‘mudah’, namun paling tidak lebih ‘baik’ dari sang Bapak Ibu Kota, Jakarta.

Imbasnya adalah ketika lapangan pekerjaan yang ada ‘tercukupi’, angka konflik sosial akan bisa ditekan sampai ke titik paling rendah.
*akhir poin dua*

Poin ke tiga:
Tidak ada kota di Indonesia yang menurut saya, yang lebih bertenggang rasa antar agama daripada di Medan.

Maksud dari bertenggang rasa nya adalah seperti ini:

Pada hari Idul fitri dan Idul Adha, pelataran parkir Masjid Agung di Jl. Diponegoro Medan akan dipakai untuk solat Id. Permasalahan muncul dari dimana para pesolat akan memakirkan kendaraannya. Parkir di jalanan bisa saja, tapi mau sepanjang apa parkiran yang akan terbuat nanti? Belum lagi nanti kemacetan yang terjadi seusai solat Id?

Maka, disinilah bentuk tenggang rasa antar agama itu terjadi.

Para umat muslim yang akan menunaikan solat di Mesjid Agung dipersilahkan untuk memarkir kendaraannya di pelataran Gereja yang berada tak jauh di depan Mesjid Agung (saya lupa nama gereja nya). Jadi, ketika solat Ied berlangsung, maka secara tidak langsung kaum Kristen turut mengamankan jalannya acara sakral tersebut.

Dan yang terjadi sebaliknya. Ketika ada Misa Natal atau perayaan hari-hari besar umar Kristiani lainnya, maka pelataran parkir Mesjid Agung akan dipergunakan khusus untuk pemisa yang menghadiri acara tersebut (selain pelatarannya digunakan untuk ‘peziarah’ Sun Plaza :D)

Begitu harmonis bukan? Jangan dilihat dari hanya berbagi tempat parkir, tapi lihatlah bagaimana 2 tempat ibadah terbesar di Medan bisa saling berbagi. Nah, ini akan ‘menulari’ kaum Muslimin dan kamu Kristiani yang menjadi umat di kedua rumah ibadah itu untuk menjaga keharmonisan, baik di dalam urusan parkir-berparkir, sampai yang lebih intens; urusan menunaikan ibadah masing-masing agama.

Ini jelas tercantum pada UUD 1945 Pasal 28E Ayat (1) dan (2) (* Perubahan II 18 Agustus 2000) yang berbunyi:  
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Jadi apa lagi yang mau dipermasalahkan?

*akhir poin tiga*


Nah itulah yang saya jawab untuk soal nomor 5 UTS Matkul Sosiologi.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Beralih ke matakuliah kedua: Ilmu Politik

Seperti yang saya katakana sebelumnya, saya tidak memiliki buku pegangan yang dianjurkan oleh dosen saya yakni: Pengantar Ilmu Politik karya Meriam Budiardjo.

Jadi apalah yang akan saya pelajari? Untungnya ada slide presentasi yang diberikan secara cuma-cuma oleh Bang Fuad (asdos). Itupun hanya 2 pertemuan saja yang Beliau berikan. Alhasil: P.A.S.R.A.H

Namun, siapa sangka, ujian Ilmu Politik ternyata open book alias buka buku ujiannya.

“Tapi gak banyak membantu tuh”, celetuk teman saya.

Bagi saya, bantuan sekecil apapun akan sangat membantu. Dan akhirnya saya bisa menyelesaikan ujian yang menurut saya lebih bisa dikatakan ‘karangan bebas’  daripada jawaban sebuah soal Ujian.

Tapi mau bagaiamanpun, sebuah hasil dari suatu usaha haruslah kita hargai dan banggakan (kalau bisa dibanggakan). Kalau tidak kita yang membanggakan, siapa lagi?

Yang terpenting adalah prosesnya, buka hasilnya. Memang hasil adalah tujuan dari sebuah proses. Namun, apa jadinya jika proses yang terjadi tidak dilakukan secara semestinya? Contoh: semua orang mau kaya. Yang satu usaha mati-matian, nabung, berdoa, solat, namun cuma kaya secuil. Yang satu tinggal ngepet, pesugihan, korupsi, jadi kaya belimpah. Mana yang Anda pilih?


Kita sudah mahasiswa, bijak bijak ya konkawan :)) *bang Rico's quote

Tunggu lanjutan cerita hari ketiga yah :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar