Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ini adalah sambungan dari cerita tentang UTS hari pertama. Belum baca? Yah, makanya apdet FaisalFound dumzz...:D
Ujian hari 2 : 30 Oktober 2012. Gedung BII/1 FISIP
USU. 08.00-10.00 WIB
Mata kuliah: Sosiologi – Pengantar Ilmu Politik
Hah, ini saya tunggu tunggu. Pengantar Ilmu Politik.
Entah kenapa saya yakin kali dengan mata kuliah yang satu ini. Kayaknya saya
salah jurusan di FISIP. Harusnya masuk Ilmu Pelet Politik bukan Ilmu Komunikasi.
Hahaha -__-
Ujian dimulai dengan mata kuliah sosiologi pada pukul
12.15. saya dan RiovaldoKribo , RandyYusran #YogiTamil udah standby ya kan di
kelas. Modal binder aja dibolak-balik sama slide dari bang Fuad, itulah modal
saya menghadapi ujian. Buku pegangan? Harusnya ada Pengantar Ilmu Politik
karangan Meriam Budiardjo, tapi apa daya, Ha na peng (gadak duit), jadi tak
tebelik buku itu. Hahaha.
Lima (lima) soal sosiologi saya lahap dengan habis,
tanpa ada tersisa. Pertanyaan terakhir yang membuat saya sangat tergelitik.
Pertanyaaannya adalah:
Medan dikenal sebagai kota multikultural di Indonesia.
Tidak pernah terdengar konflik sosial yang berbau SARA terjadi di Medan.
Menurut Anda, apa yang meyebabkan keadaan Medan seperti itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini saya harus menggunakan
1,5 halaman double folio yang disediakan oleh pengawas ujian.
Ada 4 poin utama yang saya
paparkan.
Poin 1: suku mayoritas tidak menindas suku minoritas (pendatang) dan tidak pula merasa tertindas dengan suku minoritas. Contoh:
Poin 1: suku mayoritas tidak menindas suku minoritas (pendatang) dan tidak pula merasa tertindas dengan suku minoritas. Contoh:
Suku mayoritas Medan: Batak,
Karo, Melayu. Udah jelas. Gak usah bedebat. Pecah pala kau nanti.
Suku minoritas: aceh, minang,
tionghoa, jawa, dan lain lain.
Penjual sarapan: mayoritas
orang jawa.
Penjual makan siang: bukan
mayoritas lagi, 100% orang minang.
Penjual makan makanan malam:
orang aceh. Itu udah jelas lah. Bu gureng saboh bang *eh keterusan* wkwkwk :D
Nah dari contoh gak
jelas diatas, maka kita dapat simpulkan:
Suku mayoritas tidak menindas
dan tidak merasa tertindas suku minoritas.
*akhir poin satu*
Poin kedua:
Masih mudahnya mencari
lapangan pekerjaan di kota Medan. Walaupun tidak bisa syaya katakan ‘mudah’,
namun paling tidak lebih ‘baik’ dari sang Bapak Ibu Kota, Jakarta.
Imbasnya adalah ketika lapangan
pekerjaan yang ada ‘tercukupi’, angka konflik sosial akan bisa ditekan sampai
ke titik paling rendah.
*akhir poin dua*
Poin ke tiga:
Tidak ada kota di Indonesia
yang menurut saya, yang lebih bertenggang rasa antar agama daripada di Medan.
Maksud dari bertenggang rasa
nya adalah seperti ini:
Pada hari Idul fitri dan Idul
Adha, pelataran parkir Masjid Agung di Jl. Diponegoro Medan akan dipakai untuk
solat Id. Permasalahan muncul dari dimana para pesolat akan memakirkan
kendaraannya. Parkir di jalanan bisa saja, tapi mau sepanjang apa parkiran yang
akan terbuat nanti? Belum lagi nanti kemacetan yang terjadi seusai solat Id?
Maka, disinilah bentuk
tenggang rasa antar agama itu terjadi.
Para umat muslim yang akan
menunaikan solat di Mesjid Agung dipersilahkan untuk memarkir kendaraannya di
pelataran Gereja yang berada tak jauh di depan Mesjid Agung (saya lupa nama
gereja nya). Jadi, ketika solat Ied berlangsung, maka secara tidak langsung
kaum Kristen turut mengamankan jalannya acara sakral tersebut.
Dan yang terjadi sebaliknya. Ketika
ada Misa Natal atau perayaan hari-hari besar umar Kristiani lainnya, maka
pelataran parkir Mesjid Agung akan dipergunakan khusus untuk pemisa yang
menghadiri acara tersebut (selain pelatarannya digunakan untuk ‘peziarah’ Sun
Plaza :D)
Begitu harmonis bukan? Jangan dilihat
dari hanya berbagi tempat parkir, tapi lihatlah bagaimana 2 tempat ibadah
terbesar di Medan bisa saling berbagi. Nah, ini akan ‘menulari’ kaum Muslimin
dan kamu Kristiani yang menjadi umat di kedua rumah ibadah itu untuk menjaga
keharmonisan, baik di dalam urusan parkir-berparkir, sampai yang lebih intens;
urusan menunaikan ibadah masing-masing agama.
Ini jelas tercantum pada UUD 1945 Pasal 28E Ayat (1) dan (2) (*
Perubahan II 18 Agustus 2000) yang
berbunyi:
(1)
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.
(2)
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Jadi apa lagi yang mau
dipermasalahkan?
*akhir poin tiga*
Nah itulah yang saya jawab untuk
soal nomor 5 UTS Matkul Sosiologi.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Beralih ke matakuliah kedua: Ilmu
Politik
Seperti yang saya katakana sebelumnya,
saya tidak memiliki buku pegangan yang dianjurkan oleh dosen saya yakni: Pengantar
Ilmu Politik karya Meriam Budiardjo.
Jadi apalah yang akan saya pelajari?
Untungnya ada slide presentasi yang diberikan secara cuma-cuma oleh Bang Fuad
(asdos). Itupun hanya 2 pertemuan saja yang Beliau berikan. Alhasil:
P.A.S.R.A.H
Namun, siapa sangka, ujian Ilmu
Politik ternyata open book alias buka buku ujiannya.
“Tapi gak banyak membantu tuh”,
celetuk teman saya.
Bagi saya, bantuan sekecil apapun
akan sangat membantu. Dan akhirnya saya bisa menyelesaikan ujian yang menurut
saya lebih bisa dikatakan ‘karangan bebas’ daripada jawaban sebuah soal Ujian.
Tapi mau bagaiamanpun, sebuah hasil
dari suatu usaha haruslah kita hargai dan banggakan (kalau bisa dibanggakan). Kalau
tidak kita yang membanggakan, siapa lagi?
Yang terpenting adalah prosesnya,
buka hasilnya. Memang hasil adalah tujuan dari sebuah proses. Namun, apa
jadinya jika proses yang terjadi tidak dilakukan secara semestinya? Contoh:
semua orang mau kaya. Yang satu usaha mati-matian, nabung, berdoa, solat, namun
cuma kaya secuil. Yang satu tinggal ngepet, pesugihan, korupsi, jadi kaya
belimpah. Mana yang Anda pilih?
Kita sudah mahasiswa, bijak bijak ya
konkawan :)) *bang Rico's quote
Tunggu lanjutan cerita hari ketiga yah :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar